Mulanya, kami ingin menempuh rute Cipeteuy, menuju ke Pelabuhan Ratu melalui Ciptagelar. Di tengah jalan, niat itu berubah. Kami memilih mencari jalan baru menuju Pelabuhan Ratu melalui Gunung Malang.
Hujan teramat deras sore itu. Mobil yang membawa kami menuju ke Cipeteuy, terpaksa berjalan terseok-seok karena lampu tak mampu menembus pekatnya kegelapan yang dihadiahkan oleh hujan.
Mobil itu pun akhirnya berhenti tak jauh dari terminal Cipeteuy, Kabandungan, Sukabumi. Hujan yang terus turun sedikit menyulitkan kami untuk mencari tempat bermalam, kami beruntung saat dipersilahkan untuk beristirahat sekaligus bermalam di teras sebuah warung.
Di depan warung itu, ada sebuah persimpangan jalan, satu jalan menuju Ciptagelar dan jalan lainnya menuju Gunung Malang. Awalnya kami sempat bingung menentukan jalur mana yang akan dilalui. Lewat daerah Ciptagelar atau Gunung Malang? Tapi, tak lama kemudian, lahir juga sebuah keputusan: lewat Gunung Malang.
Alasannya, Ciptagelar sudah pernah kami rambah. Juga, jarak menuju ke Pelabuhan Ratu jadi lebih pendek jika melewati Gunung Malang. Karena kami tak harus berjalan memutar.
Perjalanan hari itu terasa menyenangkan. Pertama mengayuh, segarnya udara pagi masih terasa. Ditambah dengan hamparan sawah yang terbentang membuat semangat kami semakin bertambah untuk menuju Pelabuhan Ratu. Medan makadam yang menurun sepanjang 300 meter membuat kami hanya sesekali mengayuh.
Namun, uhh! Setelah itu, kontur mulai berubah menjadi datar dan lalu sedikit mendaki. Tanjakan ringan di jalan makadam itu masih bisa kami lalui sembari duduk di atas sadel. Maklum, selain tanjakannya sedikit landai, badan kami juga masih bugar.
Selama mengayuh, satu-dua petani yang hendak ke sawah melintas di depan kami. Pemandangan seperti itu kami temui saat menempuh Kampung Sorogoh, Kabandungan. Anak-anak kecil juga tampak berkerumun saat kami sedang mengayuh sepeda. Mereka kerap menemani kami bersepeda.
Ada perasaan kagum dan sedih melihat anak-anak itu. Kagum karena pendidikan masuk ke desa kecil. Kagum karena mereka tampak ceria dan bersemangat menuju ke sekolahnya. Sedih, karena anak-anak itu mesti mengenakan sendal jepit untuk pergi ke sekolah melewati jalan tanah dan berbatu.
Perjalanan dilanjutkan ke Kampung Siren. Kontur tanah masih campuran antara tanah dan batuan. Permukaan ini masih bersahabat dengan sepeda kami. Kesulitan hanya kami temui di tanjakan. Selain panas matahari yang mulai menyengat, medan berbatu yang cukup licin membuat kami sulit mengayuh.
Lepas dari tanjakan ini, hamparan sawah kembali kami temui. Sejauh mata kami pemandang hanya sawah yang kami lihat. Jalanan sama sekali tak terlindung pepohonan. Harusnya, kami mempercepat kayuhan agar segera terbebas dari terik matahari yang menyengat kulit.
Tapi apa daya, panorama hamparan sawah itu menggoda kami untuk berhenti untuk menatapnya lebih lama. Perjalanan mulai kami lanjutkan kembali hingga bertemu sebuah warung kecil yang di depannya terdapat sebuah pos ronda.
Menuju ke kampung Lemah Duhur, Desa Cianaga, bukanlah hal yang mudah. Awalnya, kami harus melewati jalan datar yang disambung dengan turunan pendek. Tapi setelah itu, lagi-lagi, kami dihadang tanjakan. Perjalanan kembali jadi melambat.

0 komentar:
Posting Komentar