Untung Berlipat dari Sepeda Lipat

on Kamis, 02 Juli 2009



Kereta ekspres jurusan Tanah Abang-Bogor sudah hampir bergerak ketika seorang pria berkulit bersih tergesa-gesa masuk ke dalam gerbong. Berbeda dengan penumpang lain yang rata-rata berpakaian kerja dan memasang wajah kuyu, penampilan pria ini malah terlihat segar di tengah udara sore yang sesak. Kemeja lengan pendek yang menempel di tubuh atletisnya basah pada bagian punggung. Yang paling mencolok mata, di kepalanya bertengger sebuah helm yang jelas bukan helm motor, sementara tangannya dibalut sarung tangan pelindung.
Pria itu juga menenteng sebuah kerangka besi yang membentuk pola hampir segitiga. Mengambil tempat duduk di dekat pintu, ia kemudian mengunci kerangka besi tersebut dan menempatkannya di sisi tempat duduk. Saat duduk, kendati beberapa pernik apparel menjadi pembeda yang mencolok, tapi kalau diamat-amati garis mukanya ternyata tak jauh beda dengan penumpang lain. Raut berkacamata minus itu adalah wajah karyawan kelas menengah. Bukan olahragawan murni kendati kerangka besi yang ditentengnya tadi adalah sebuah sepeda lipat. Jelaslah bahwa pemeran utama paragraf ini adalah seorang eksekutif muda, yang kelihatannya biasa bersepeda (soalnya kelihatan sudah tidak canggung) untuk menempuh perjalanan dari kantor ke ke stasiun.

Akhir-akhir ini, pemandangan karyawan bersepeda memang makin sering dijumpai di ibukota. Kadang mereka menempuh perjalanan penuh di sepanjang jalur protokol sampai ke rumahnya. Kadang mereka mengombinasikannya dengan angkutan umum semacam kereta api atau bus Transjakarta. “Saya kira sepeda lipat sekarang memang sudah menjadi gadget semacam BlackBerry,” komentar Peter Mulyadi, Marketing Manager Polygon, satu-satunya produsen sepeda nasional yang meluncurkan merek lokal sepeda lipat.

Menurut Peter, selain digunakan secara personal pada hari kerja, para pemilik biasanya juga sering ramai-ramai bersepeda dengan komunitasnya dalam acara funbike di akhir pekan. “Dan terus terang, kalau untuk funbike, mata kita juga lebih segar. Soalnya yang ikut semuanya gaya-gaya dan fashionable. Apalagi yang female,” tambah Peter lagi. Maklum saja, harga sepeda ini biasanya di atas rata-rata. Sehingga segmentasi pembelinya juga datang dari kalangan middle up (segmen A dan B+) dan bisa dipastikan bermukim di perkotaan, dengan promising yang selalu meningkat.

Tren pemakaian sepeda lipat dirasakan Peter mulai marak sejak setahun lalu. Bahkan akhir-akhir ini, kondisi pasarnya bisa dikatakan sedang booming. 130 unit sepeda lipat yang diproduksi Polygon per harinya, menurutnya, selalu tandas dalam sekejap. Bahkan untuk membeli, para konsumen harus indent terlebih dahulu.

Begitu juga untuk merek Dahon, di mana Polygon menjadi distributor tunggal di Indonesia sejak setahun silam. Di Taiwan negara asalnya, menurut Peter, pabrik Dahon sampai kewalahan memenuhi permintaan dari Indonesia. “Pokoknya untuk sepeda lipat ini, seperti jualan kacang gorenglah,” tutur Peter seraya menyebutkan pertumbuhan sales produk miliknya mencapai lebih 50% dari bulan ke bulan.

Di jaringan ritelnya yang bernama Rodalink, Polygon memang menyediakan dua merek tersebut untuk sepeda lipat. Dahon yang sudah tersohor di dunia, mereka pasang dengan harga di atas Rp 3 juta-an. Sementara Polygon yang merupakan milik mereka sendiri, dari awal diproduksi sudah diposisikan dengan harga yang lebih terjangkau.Varian Urbano (dengan diameter roda 20inch) dibanderol dengan harga Rp 2,7 juta, sementara Metro yang rodanya lebih kecil (diameter 16 inch) berselisih sekitar Rp 300 ribu di bawahnya.

1 komentar:

ummul mengatakan...

Selingkuh bersama "Seli"

http://ummul-m.blogspot.com/2009/07/seli-bukan-selingkuh-jika-bersama-seli.html

Posting Komentar